Minggu, 18 Oktober 2020

THP 4. PEMBUSUKAN PADA IKAN

TIK: Materi ini membahas tentang faktor utama yang meyebabkan pembusukan ikan

Amien Rais, “Ikan Busuk Dari Kepalanya”

4A. Faktor penyebab pembusukan pada ikan

Ikan merupakan produk yang high perishable (mudah rusak) sehingga memerlukan penanganan khusus. Mutu ikan yang tertangkap atau dari hasil budidaya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang disebabkan oleh faktor yang bersifat alamiah dan biologis serta faktor cara penangananan sejak ikan ditangkap/dipanen sampai pada konsumen. Tingkat kemunduran ikan ditentukan sejak penangkapan/dipanen, pengolahan sampai penyajian. Proses kemunduran mutu ikan berlangsung cepat di daerah beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban tinggi ditambah dengan proses penangkapan/pemanenan yang tidak baik akan menyebabkan ikan lebih cepat mengalami kemunduran mutu.

Terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab pembusukan pada ikan. Secara umum peyebab pembusukan pada ikan terdiri atas faktor fisik, enzimatis, biokimia dan mikrobiologi.

4A1. Faktor fisik

Penurunan mutu ikan juga dapat terjadi oleh pengaruh fisik. Luka fisik yang terjadi pada ikan dapat disebabkan oleh tekanan, sayatan atau tusukan benda yang terjadi ketaika proses penangkapan/pemanenan. Akibatkanya tubuh ikan dapat mengalami kerusakan ringan bahkan ikan mengalami kerusakan berat. Ketika ikan megalami kerusakan secara fisik, akan memicu kerusakan yang ditimbulkan oleh faktor enzim, biokimia ataupun mikrobiologi yang lebih cepat.

Kerusakan yang terjadi  misalnya kerusakan oleh alat tangkap ketika ikan berada di dek, di atas kapal dan selama ikan disimpan di palka. Kerusakan ini disebabkan penanganan yang kurang baik sehingga menimbulkan luka-luka pada badan ikan dan ikan menjadi lembek. Diantara hal-hal ini dapat disebabkan karena:

  1. Ikan berada dalam jaring terlalu lama kepala atau ekor menjadi luka atau patah. 
  2. Pemakaian ganco atau sekop terlalu kasar, sehingga melukai badan ikan dan dapat mengalami pendarahan. 
  3. Penyimpanan dalam palka yang terlalu lama.
  4. Penanganan yang ceroboh sewaktu penyiangan, pengambilan ikan dari jaring, sewaktu memasukkan ikan dalam palka, dan membongkar ikan dari palka.
  5. Suhu yang tinggi dan sinar matahari menyebabkan daging ikan menjadi cepat lunak.

4A2. Aktivitas  Enzimatis

Struktur ikan dan senyawa kimia yang menyusunnya mudah sekali mengalami perubahan. Suatu katalisator yang menyebabkan perubahan tersebut adalah enzim, sehingga setiap perubahan senyawa biologis yang disebabkan oleh aktivitas enzim disebut perubahan enzimatis. Enzim merupakan salah satu bentuk protein daging ikan berupa enzim yang ada di dalam saluran pencernaan maupun di dalam otot. Jumlah enzim di dalam tubuh ikan hanya sedikit tetapi berperan penting untuk pencernaan, aktifitas metabolisme, melakukan gerakan di air dan lain sebagainya.

Pada saat ikan masih hidup aktivitas enzim yang terjadi pada tubuh ikan berlangsung secara normal. Enzim mengkatalis glikogen menjadi energi dengan sisa aktivitas metabolisme berupa asam asetat, air dan karbon dioksida. Sisa metabolisme akan dibuang melalui respirasi dan ekskresi pada tubuh ikan.

Saat ikan telah mati, masih terdapat enzim pada tubuh ikan. Enzim tetap aktif memecah glikogen yang tersisa. Kinerja enzim saat ikan mati terjadi tanpa bantuan oksigen (anaerob). Sisa metabolisme berupa air, karbondioksida dan asam laktat tidak dapat dibuang memalui respirasi dan sekresi, akibatnya akan terjadi penumpukan sisa metabolisme pada tubuh ikan. Penumpukan asam laktat akan menyebabkan tubuh ikan kaku (rigormortis). Lamanya rigormortis tergantung persediaan glikogen pada otot daging ikan dimana semakin banyak persediaannya (berarti ikan tidak dalam keadaan lelah saat mati) semakin lama ikan berada dalam kondisi rigormortis

Akumulasi sisa metabolisme pada tubuh ikan, menyebabkai pH tubuh ikan akan menurun. Akumulasi sisa metabolisme juga merupakan kondisi yang cocok untuk aktivitas mikroorganisme pembusuk. Enzim yang terkandung dalam tubuh ikan akan merombak bagian-bagian tubuh ikan dan mengakibatkan perubahan rasa (flavor), bau (odor), penampakan (appearance) dan tekstur (texture).

4A3. Reaksi Autolisis dan Reaksi Kimiawi

Di dalam jaringan tubuh ikan yang masih hidup sudah terdapat enzim. Enzim   menguraikan   protein,   lemak   dan   karbohidrat   menjadi   energi. Penurunan kesegaran ikan setelah ikan mati yang disebabkan oleh reaksi enzimatis berlangsung pada tahap pre-rigor dan rigor mortis. Perubahan awal yang terjadi ketika ikan mati adalah peredaran darah berhenti sehingga pasokan oksigen untuk kegiatan metabolisme berhenti menyebabkan aktivitas penurunan  mutu  ikan  di  dalam  otot  ikan  berlangsung  dalam  kondisi anaerobik. Pada saat tersebut ikan berada pada tahap pre-rigor, yang hilang bersamaan dengan matinya ikan adalah sistem kendali. Akibatnya, proses enzimatis berjalan tanpa kendali yang mengakibatkan perubahan biokimia yang luar biasa.

Salah satu tanda tersebut adalah ikan mulai melepaskan lendir yang cair, bening atau transparan yang menyelimuti seluruh tubuh ikan dan proses ini disebut hiperemia yang berlangsung 2−4 jam. Makin lama pelepasan lendir makin banyak dan lendir ini menjadi media ideal bagi pertumbuhan bakteri pembusuk dan untuk penetrasi ke dalam tubuh ikan.

Beberapa saat kemudian tubuh ikan menjadi kaku (rigor mortis) akibat berbagai reaksi biokimia. Biasanya proses ini berlangsung sekitar 5 jam. Selama berada dalam tahap rigor mortis ini, ikan masih dalam keadaan sangat segar.  Ini berarti  bahwa apabila rigor martis dapat dipertahankan lebih lama maka proses pembusukan dapat ditekan.

Ketika ikan mati, senyawa organik di dalam otot terdekomposisi oleh enzim yang masih aktif di dalam jaringan. Pada tahap awal senyawa yang terhidrolisa  paling  cepat  adalah  karbohidrat  dalam  daging,  yaitu  dalam bentuk glikogen dihidrolisa menjadi asam laktat yang akumulasinya di dalam otot menyebabkan penurunan pH dan besarnya penurunan pH tergantung pada jumlah glikogen yang terdapat di dalam otot. Ketika ikan masih hidup terdapat pasokan O2, dan karbohidrat tersebut dibakar menghasilkan karbondioksida dan air. Oleh karena ikan mati dalam keadaan meronta-ronta, sebagian  glikogen  berkurang  sehingga  akumulasi  asam  laktat  dalam  otot tidak banyak. Ikan hidup mempunyai nilai pH daging sekitar 7,0 dan setelah mati turun menjadi pH 5,8 hingga 6,2. Pada gilirannya, kejadian ini mestimulasi enzim-enzim yang menghidrolisa fosfat organik. Fosfat yang pertama kali terurai adalah fosfat kreatin dengan membentuk kreatin dan asam fosfat, yang kemudian diikuti oleh terurainya adenosin trifosfat (ATP) membentuk adenosin difosfat (ADP) dan asam fosfat.

Penguraian ATP tersebut menghasilkan energi yang besar di dalam jaringan  otot  sehingga  mengakibatkan  berkontraksinya  otot  (aktin  dan miosin) dan akhirnya otot menjadi kaku dan tidak dapat kembali ke sifat semula. Pada tahap ini ikan memasuki tahap kekejangan (rigor mortis).

Dengan   turunnya   pH,   enzim-enzim   dalam   jaringan   otot   yang aktivitasnya  berlangsung  pada  pH  rendah  menjadi  aktif.  Katepsin,  yaitu enzim proteolitik yang berfungsi menguraikan protein menjadi senyawa sederhana, merombak struktur jaringan protein otot menjadi lebih longgar sehingga rentan terhadap serangan bakteri. Demikian pula enzim lain yang ada dalam organ tubuh ikan, misalnya dalam perut, melakukan aktivitas yang sama. Hal ini mengakibatkan daging ikan menjadi agak lunak. Fase perombakan jaringan oleh enzim dalam tubuh ikan ini disebut dengan autolisis.  Ikan dalam fase auotolisis ini sering masih dianggap cukup segar dan layak dimakan. Meskipun demikian, fase ini merupakan fase transisi antara segar dan busuk.

Dalam fase tersebut perubahan mutu ikan mulai dapat diamati penampilannya. Pada tahap pre-rigor ikan masih memiliki rupa, bau, rasa dan tekstur menyerupai ikan yang baru mati dan mendekati kondisi ikan hidup. Otot ikan masih lentur sehingga tubuh ikan lemas dan lentur. Makin lama ikan menjadi lebih suram dan kurang cemerlang. Daging mulai lembek dan kemampuan  daging untuk menahan air mulai  menurun.  Mata ikan mulai kemerahan  atau  buram.  Bau  ikan  yang  semula  segar  dan  harum  mulai berubah menjadi amis. Walau demikian, selama aktivitas enzimatis masih berlangsung, ikan masih tergolong segar.

Meskipun demikian, selain menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, proses enzimatis di atas dalam batas tertentu justru menguntungkan. Penguraian ATP menjadi AMP (adenosine monofosfat) atau IMP (inosine monofosfat) akan menghasilkan rasa gurih karena kedua senyawa tersebut termasuk flavour enhancer (pemberi rasa sedap) dan jumlahnya mencapai maksimum pada puncak rigor mortis. Pada tahap lebih lanjut autolisis menghasilkan senyawa-senyawa hipoksantin yang menyebabkan  rasa pahit. Terurainya protein menjadi asam amino tertentu juga memberikan rasa lezat, misalnya asam glutamate yang gurih atau glisin yang manis. Asam amino bebas seperti itu sebenarnya sudah ada dalam daging ikan sejak ikan hidup, terutama ikan laut.

Reaksi kimiawi yang terjadi selama proses kemunduran kesegaran ikan adalah penguraian lemak oleh aktivitas enzim jaringan tubuh dan enzim yang dihasilkan oleh bakteri serta berlangsung akibat oksidasi dengan adanya oksigen menjadi asam lemak. Akibat dari reaksi ini adalah terjadinya ketengikan,  perubahan  warna  daging  menjadi pucat  yang  mengarah  pada rasa, bau, dan perubahan lain yang tidak dikehendaki.

Di dalam hubungannya dengan pengawetan, harus diusahakan memperpanjang waktu pre-rigor dan rigor mortis yang merupakan faktor sangat penting dalam kaitannya untuk mempertahankan kesegaran ikan. Ikan yang berada dalam kondisi pre-rigor dan rigor mortis sangat disukai tidak hanya dapat dimakan dalam keadaan mentah, tetapi juga sangat baik digunakan untuk bahan baku pengolahan produk perikanan. Ikan yang telah memasuki tahap perubahan tekstur menjadi empuk walaupun proses pembusukan  belum  terjadi  jika  diolah  tidak  akan  menghasilkan  produk dengan mutu dan rendemen seperti yang diharapkan.

4A4. Aktivitas Mikroorganisme

Mikroorganisme dominan yang berperan penting di dalam proses penurunan kesegaran ikan adalah bakteri. Pada umumnya daging ikan yang masih segar adalah steril, bakteri dapat ditemukan di permukaan kulit, insang dan saluran pencernaan. Setelah ikan mati, bakteri yang terkonsentrasi pada ketiga tempat tersebut secara perlahan-lahan berpenetrasi dan bergerak aktif menyebar ke seluruh jaringan dan organ ikan yang tadinya steril mulai dijadikan tempat berkembangbiaknya bakteri. Dekomposisi berjalan intensif, khususnya setelah ikan melewati fase rigor mortis, pada saat jaringan otot longgar dan jarak antarserat diisi oleh cairan. Walaupun bakteri mampu menguraikan protein, tetapi substrat yang paling baik adalah produk-produk hidrolitik hasil proses autolisis, seperti asam amino dan senyawa-senyawa nitrogen non-protein (trimethilamin oksida/TMAO, histidin, urea). Ikan laut yang mengandung senyawa-senyawa nitrogen non-protein lebih banyak dibandingkan dengan ikan air tawar, memerlukan waktu yang lebih singkat untuk proses dekomposisi.

Dekomposisi  protein  oleh  bakteri  merubahnya  menjadi  asam-asam amino.  Pada tahap selanjutnya asam-asam amino mengalami deaminasi dan dekarboksilasi yang membentuk senyawa-senyawa lebih sederhana oleh enzim-enzim spesifik dari mikroba. Produk hasil dekomposisi yang paling sering digunakan untuk menduga tingkat kesegaran ikan adalah amonia dan monoamin  yang  paling  sederhana  (metilamin,  dimetilamin,  trimetilamin) yang lebih dikenal sebagai basa-basa menguap; senyawa sulfor menguap H2S dan merkaptan berupa metil merkaptan dan etil merkaptan); dan senyawa- senyawa siklis (alkohol, amin).  Akumulasi  basa-basa  menguap,  senyawa- senyawa sulfur, alkohol aromatik menguap (fenol, kresol), dan senyawa- senyawa   heterosiklik   (indol   dan   skatol)   bertanggung   jawab   terhadap timbulnya bau yang tidak dikehendaki pada ikan. Di samping itu, monoamin skilik (histamin dan fenilatilamin), diamin (putrscin dan kadaverin), basa oksiamonium (neurin) dan fenol, kresol, indol dan skatol adalah senyawa- senyawa beracun yang dapat menyebabkan keracunan makanan.

Asam   nukleat   pada   nukleoprotein   membentuk   hypoxanthine   dan xanthine yang pada kondisi yang cocok berubah menjadi amonia dan karbondioksida. Dekomposisi lipoprotein menyebabkan lipid terurai lebih lanjut. Jika ini terjadi komponen utama fosfatida lesitin, yaitu kholin menghasilkan  monoamin  sederhana  dan  senyawa  oksiamonium  beracun, yaitu ptomain.

Perubahan paling penting terhadap senyawa-senyawa nitrogen non- protein adalah berkurangnya trimetilamin oksida menjadi terimetilamin, dekarboksilasi histidin menjadi senyawa beracun histamin dan dekomposisi urea menghasilkan amonia bebas. Tidak hanya protein dan senyawa-senyawa nitrogen lainnya di dekomposisi oleh bakteri, tetapi juga termasuk lemak.  Ini melibatkan hidrolisis trigliserida dan oksidasi lemak membentuk peroksida, aldehid, keton dan asam-asam lemak. Akan tetapi, proses ini lebih lambat dibandingkan dengan dekomposisi senyawa-senyawa nitrogen.

Sejak  saat  tersebut  penguraian  protein,  lemak  dan  senyawa  lainnya hingga terbentuk senyawa-senyawa yang menyebabkan perubahan bau, rasa, dan penampakan serta bersifat racun yang pada akhirnya jika terakumulasi dalam jumlah yang tinggi ikan akan dinyatakan busuk. Penguraian protein menyebabkan kandungan nitrogen non-protein di dalam ikan meningkat. Lebih lanjut akumulasi basa nitrogen juga menyebabkan daging ikan menjadi lebih alkali sehingga meningkatkan nilai pH-nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar